kumpulan puisi baru
 Puisi yang Ditulis pada Tahun 1998
  Cinta 1
  Kutanam sapaku di ladangmu, kasih;
lembut kau sambut dengan senyum; 
   musim semi ini bermekaran mewangi; 
petiklah setangkai, cium baunya; 
jangan lagi ada sesal 
jika tak seharum milikmu di masa lalu 
Kubingkai lukisan cinta di piguramu; 
pajanglah di relung hatimu; 
pandanglah bila kau rindu; 
jangan ada ragu 
bila tak seindah milikmu di masa lalu   Jakarta, Agustus 1998  
 |  
 
 |     Cinta 2   Benang itu telah kita urai, kasihku 
kini terangkai dalam rajutan cinta 
senyumlah dan genggam tanganku 
langkahkan kaki menuju matahari  
 Jkt, Agustus 98  
 |     
 |  
  
 |   |      Cinta 3   Tlah kita susuri jejak cinta di pasir pantai   
  Buih dan debur ombak bergulung   
  Awan dan angin menyisir rambutmu   
  Mari kita gapai bahagia bersamaku   
  Jangan pula ada kecewa jika tak seperti anganmu  
 Jkt, 08-98  
 |  
   Kecewa I 
  Ini kali kukecup bibirmu,  
  perawan lidahku kelu, lugu sambutmu,
tidak kuragu hijau lembaranmu, kasih,  
  tapi jika tak seindah kenanganmu dulu,
jangan kecewa,  
  sebab terlalu kasep aku mengenal cinta. 
  Jakarta, September 1998 
  Kecewa II 
  Rumah ini milikmu, milik kita walau cuma beratap cinta dan asa.
Taman ini begitu indah, meski hanya tertanam bunga cinta.
Ranjang ini pun milik kita walau cuma berlapis cinta.
Jangan kecewa jika hanya cinta yang bisa kuberikan. 
  Jakarta, September 1998 
  Kecewa III 
  Jangan biarkan buih laut memanjakanmu.
Jangan biarkan wangi melati merasuki mimpimu.
Jangan biarkan kilau permata hinggap di anganmu.
Jangan kecewa jika yang kita punya cuma cinta. 
  Jkt, Sep '98 
  Pengakuan 
  Tataplah mataku, kasih, tanpa gemetar . Riak gelombang
terpantul bersama luka menganga. Sudah sekian lama
mendera sukma
Sentuhlah jantungku, kasih, rasakan gejolak denyut
kegundahan; sudah lama mengoyak jiwa
Sia-sia kau katupkan bibirmu sebab telah kubaca
lembar-lembar pengakuanmu, jujur kau tuliskan: "nafsu
tak terkendali...." 
  Jangan takut, kasih, tatap mataku dengan berani.
Sambut tanganku, mari kita lambaikan untuk waktu
yang telah berlalu, walau luka itu tak mungkin
mengatup. Kubuka pengampunanku, ikhlas kuterima air
matamu karena, ternyata
kau masih perawan di malam pertama. 
  Jakarta, Sep '98 
  Kenangan 
  Jalan panjang terbentang itu bukan lamunan,  
  sayang. Telah kita rintis sejak dalam buaian.  
  Percuma kau kenang kekasihmu dulu. Kini kau cuma  
  milikku. Pendam kecewamu, jangan harap lagi masa  
  lalu membalik diri. 
  Hujan kala itu di Kaliurang, jadi kenanganmu.  
  Jangan lagi kauharap kembali, sebab ia tak mungkin  
  datang lagi. 
  Tatap mataku, sayang. Jangan lagi palingkan muka.  
  Jangan lagi menoleh ke belakang. Di rumah ini hanya  
  ada kita berdua. 
  Jkt, September 98 
  Pertarungan 
  Hitam lembar itu telah kusibak, dengan kelancangan.  
  Catatan luka menganga memiriskan hati.  
  Bukan aku suci jika darahku menggumpal dan tanganku mengepal.  
  Dan, pertarungan itu tak pernah berakhir.  
  Lukamu, lukaku, jadikan satu. 
  Jkt, Sep 98 
  Puisi-puisi yang ditulis pada tahun 1994 
    P E R P I S A H A N
  buat dita indah sari 
  Jurang antara kita tlah terbentang  
  lepaskan tangan saling genggam  
  tak kan lagi kita bernaung satu payung  
  maka lambaikan tangan, sayang  
  biarkan aku terbuang.  
  Bukan kanan atau kiri  
  bukan pula pilihan mati atau masuk bui  
  tapi beda cara pandang kita pada batas cakrawala  
  mesti kita sadari.  
  Tak penting tuk disesali, kasih  
  cinta bukan tali satukan hati  
  biarkan aku pergi  
  perpisahan ini mesti terjadi.  
  Jangan lagi ditangisi, kasihku  
  tanggalkan kecup mesra kenangan semalam  
  lupakan bisikan tentang cinta asmara.  
  Selamat berjuang, sayangku  
  tetap tegak di medan palagan  
  gapai mataharimu  
  sinari lorong-lorong kumuh kota  
  terangi gubuk-gubuk kusam berdebu  
  bebaskan mereka yang dihisap angkara peradaban.  
  Di puncak pergolakan penghabisan  
  kita berjumpa memimpin massa  
  kibarkan bendera yang sama. 
  Batu, 20/8/94 
  SAJAK CINTA UNTUK DITA 
  Ketika rakyat berkubang dalam genangan air mata  
  kita berjumpa 
  Tatkala petani terusir dari tanah leluhurnya
kita bersua 
  Saat buruh acungkan kepalan tangan menuntut haknya
kita saling jatuh cinta
karena kita di antara penderitaan mereka
darah kita mengalir di nadinya. 
  Tapi kini kau begitu jauh
jauh tak terengkuh
oleh angan dan harapan
setelah aku terbuang. 
  Lewat kangenku pada jalanan
lewat rinduku pada pekik perlawanan  
  kukirim salam untukmu
meski kau tinggal bayang-bayang semu
ataukah aku yang selalu ragu
pada landasan yang selama ini jadi pijakan
cita-cita masyarakat tanpa penindasan. 
  Rinduku padamu, Dita
laksana bayi rindukan tetek ibunya
ketika lapar dan dahaga. 
  Cintaku padamu, Dita
kini terbawa angin senja
kulambaikan tangan perpisahan
sambil mendekap dada yang terluka. 
  Batu, 22 Agustus ’94 
  Puisi yang ditulis pada tahun 1993 
  Pengharapan
  buat Novi 
  Setangkai anggrek ungu  
  kupersembahkan kepadamu, sayangku  
  bukan sebagai tanda cinta  
  maka kubiarkan ia tersia-sia  
  biarlah dia tercampakkan  
  asal bukan hatiku  
  yang putus harapan 
  Setangkai anggrek ungu  
  bukan tanda cinta, sayangku  
  karena cintaku padamu  
  takkan kering dan layu  
  oleh waktu yang berpacu 
  Setangkai anggrek ungu  
  bukan saksi bisu  
  pengharapanku padamu  
  karena pengharapanku abadi selalu  
  maka ijinkan aku mencintaimu. 
  Loksado, Juli 1993 
 (Pernah dimuat di  Banjarmasin Post, 12 Juli 1993) 
 
  Keputusan 
  Cinta adalah tawa  
  yang berderai di antara bintang gemintang  
  Cinta adalah tawa  
  di taman aneka bunga dan kembang  
  Kini cinta adalah air mata  
  kau pergi setelah kau tusukkan  
  belati tepat di jantungku. 
  Loksado, Juli 1993 
 (Pernah dimuat di  Banjarmasin Post, 12 Juli 1993) 
 
   The Dreaming in the Heart Garden
   to Norchiditha Ganaden 
  now,  
  it’s time to stop counting the days  
  the days without edged  
  that more and more torture me  
  long time I have crossed the memory desert  
  in the beautifully shining of yours eyes  
  the beautifully smiling of yours  
  accompanying my step to walk along  
  the road of the heart garden  
  carving the memory with you 
  now,  
  it’s time to stop counting the days  
  that torture me  
  I have exhausted to wait for you  
  in full of disappointment  
  so overwrought  
  on the beautifully roses  
  save thorn 
  in the beautifully heart garden  
  actually only the dreaming  
  the thorn, my dear  
  how a wild to hurt my heart  
  so I realize that everything is only  
  the dreaming  
  because I fail to possess you  
  you are obviously not my possession  
  and the waving of your hand: say good bye  
  so much tear the hurt in my heart  
  good bye, my dear  
  don’t you go back in to may life forever 
  Yogyakarta, 5 Mei, 1993 
  MIMPI DI TAMAN SURGAWI
  kepada Norchi 
  kini  
  sudah saatnya aku berhenti  
  menghitung hari tak bertepi  
  yang kian menyiksa diri  
  telah lama kujelajahi padang kenangan  
  dalam redup sendu cahaya matamu  
  senyum manismu  
  kecantikan wajahmu  
  mengiringkan langkahku menapaki taman surgawi  
  terukir kenangan bersamamu 
  kini  
  telah saatnya aku berhenti  
  menghitung hari  
  yang kian menyiksa diri  
  pada mekarnya mawar  
  menyimpan duri  
  pada indahnya taman surgawi  
  ternyata hanya mimpi  
  duri itu, kasih  
  begitu ganas menusuk ke ulu hati  
  hingga aku sadar diri  
  semuanya hanya mimpi  
  sebab tak mungkin kau kumiliki  
  lambaian tanganmu kasih  
  kian menoreh luka di hati  
  selamat tinggal kasih  
  dan jangan kau kembali 
  Yogyakarta, 5 Mei 1993 
  Penantian  
  kepada Norchi 
  kini  
  sudah saatnya  
  berhenti menghitung hari  
  yang tak bertepi  
  telah lama kutelusuri pasir pantai  
  kutinggalkan jejakku di sana  
  kucari bayangmu di batas cakrawala  
  di atas garis laut  
  kucari merdu suaramu  
  di antara debur ombak yang menggulung  
  pasir pantai, karang, dan debur ombak  
  saksi penantianku 
  kini  
  sudah saatnya berhenti  
  menghitung hari  
  yang tak bertepi  
  telah lelah aku menanti  
  kuputuskan: biarlah aku sendiri  
  karna ternyata engkau bukan untukku 
  kini  
  sudah saatnya berhenti menghitung hari  
  kulambaikan tanganku  
  sambil mendekap dada yang terluka  
  selamat tinggal sayang  
  tak kuharap kau kembali 
  Loksado, Juli 1993  
  (Dimuat di  Banjarmasin Post, 12 Juli 1993) 
  Puisi-Puisi yang Ditulis pada Tahun 1989-1990 
   B e l e n g g u    
 kepada Widuri 
  getar rasa haru tiap kita bertemu  
  ciptakan belenggu pada diriku  
  namun pagar antara kita  
  jadi sekat tempat kita menetap  
  senyum dan sapaanku gagal  
  ketuk pintu hatimu  
  tatapan mata hanya sia-sia  
  lambaian tanganku relakan dirimu  
  kian menjauh menuju bahtera cinta keemasan 
  "selamat jalan Widuri,  
  semoga tak kembali lagi."  
  biarkan aku terus mengembara  
  mengakrabi tiap jengkal tanah sepi. 
  Yogya, Maret 1989 
 
     Kita dan sekat   
kepada Widuri 
  di pantai ini
getar rasa haru tiap kita bertemu
ciptakan belenggu pada diriku.
Antara kita ada sekat
pisahkan tempat kita menetap.
Ah, kau memandang diriku ragu
senyum dan sapaanku
gagal ketuk pintu hatimu
tatapan mata hanya sia-sia. 
  lambaian tanganku
relakan dirimu kian menjauh
menuju bahtera cinta permata.
selamat jalan, Widuri
semoga engkau tak kembali
ke pantai ini,
biarlah aku tetap sendiri
menapaki tiap jengkal tanah sepi. 
  Yogya, Maret 1989 
 
   Kenangan  
  Papa…mama ingatlah  
  dulu, di kali bening daun bambu kujadikan perahu  
  malaju papa  
  aku bersorak mama  
  engkau tertawa dengar celotehku  
  betapa bahagia kita 
  Kenanglah  
  kali bening dan perahu daun bambu milikku  
  gembira dan bahagia punya kita 
  Papa…mama  
  Alangkah berat, tatkala kita terpaksa  
  tinggalkan semua,  
  tinggalkan desa menuju kota 
  Lambaian nyiur kelapa  
  sambut lambaian tangan kita  
  tinggalkan desa menuju Jakarta. 
  Yogya, 1989 
   POTRETMU DI PANTAI ITU  
  sebingkai potret dirimu  
  dalam aku cemburu  
  di pantai itu  
  leburkan cintaku dalam cahaya purnama  
  seribu wajah lelaki  
  tak lagi kukenali  
  : aku hanya kenal kamu 
  gambarmu di pasir pantai  
  tak lagi sempurna kunikmati  
  karna harimu terbawa angin selatan  
  sedang aku kian jauh menuju utara 
  sebingkai potret dirimu  
  di pantai itu  
  ketika aku ragu  
  tak kuingat lagi  
  lebih baik aku sendiri. 
  Yogya, 1990 
 
  Puisi-puisi yang ditulis pada tahun 1988 
   Doa Malam  
  gelap langit malam  
  berikan keheningan dan diam  
  dalam diam  
  kutengok bintang khusuk sembahyang  
  dalam keheningan  
  kupacu hasratku sujud pada-Mu  
  nyalakan lampu dalam jiwaku  
  agar aku tahu  
  segala keangkuhan adalah kebinasaan cinta  
  dan segala cinta  
  hanya bermuara pada-Mu 
  Yogya, 1988 
   Persimpangan  
  Listy
di antara keasingan kita sempat
erat berjabat
tanpa mengerti tali yang temukan kita
kita sama-sama jalan menuju
terang mentari yang masih dalam
mimpi. 
  Listy
jalan simpang nyata depan kita
kurelakan kau putar kemudi
sebab mentari kita berbeda
jangan menoleh lagi Listyku
biarkan aku sendiri di sini
melewati hari kian sepi. 
  Yogya, 1988
  (Pernah dimuat di Majalah Idola, No. 45,  
Tahun II, 16-31 Desember 1988) 
   J a r a k  
  Tlah kita sepakat
buat jarak Yogya-Semarang
tlah kita buat tekad
memperdekat jarak
dalam hati kita
agar rentang tali makin kuat
meski hari-hari kian sepi. 
  Yogya, 1988
  (Pernah dimuat di Majalah Idola, No. 45,  
Tahun II, 16-31 Desember 1988) 
 
   Keputusan  
  rentang tali kian rapuh
dijelajah waktu tak kenal ampun
jarak Yogya-Semarang kian jauh
dan tlah kau putuskan:
perpisahan itu mesti terjadi
hari-hari kian sepi. 
  Yogya, 1988
  (Pernah dimuat di Majalah Idola, No. 45,  
Tahun II, 16-31 Desember 1988) 
 
  Puisi-Puisi yang Ditulis pada Tahun 1987 
 
    PERTEMUAN I    Tuhanku 
ulurkan tangan-Mu   
  larutkan aku dalam malam-Mu   
  hening, khidmat sebut nama-Mu  
 Tuhanku,   
  terangkan aku pada siang-Mu   
  biar aku tahu   
  matahari tunjukkan kuasa-Mu  
 Tuhanku,   
  temukan siang dan malam-Mu   
  di hatiku.  
 Yogya, 1987  
 |     pesan buat sahabat    saat kita di tengah masa   
  kita erat berjabat   
  berdua lewati titian semu   
  menuju terang mentari jauh di depan   
  gelak tawa dan tangis bertukar   
  kita siapa?   
  bukan saudara!   
  mari sobat kita berjabat   
  ucapkan selamat tinggal   
  jalan simpang sudah dekat   
  lambaikan tangan sebab mentari   
  kita berbeda.  
 Yogya, 1987  
 |  
    L U P A 
   buat neofiraun   Tuhan   
  kutolak napasmu mengalir di lautku   
  beringas Engkau lihat bidukku   
  bumi kan kurebut   
  bulan kan kudekap   
  oohh   
  di depan cermin   
  aku lupa diri   
  merah mukaku menunduk   
  gelombang badai berdebur   
  sudah datang waktu   
  leburkan bentukku   
  sebelum mulut terkatup   
  kutulis namaku di karang pantai   
  dengan darahku.  
 Yogyakarta, 1987   
  (pernah dimuat di  Suara Indonesia,   
  Februari 1988)  
 |     Insaf    dijemput kuda berpelana putih   
  lewati jalan setapak menuju langit   
  pengembaraan panjang   
  pasti kita alami   
  karna itu jangan dekatkan aku lagi   
  pada kubangan lumpur   
  beningkan telagaku   
  tenggelamkan wajahku   
  sedalam rasa.  
 Yogya, 1987  
 |  
    tinggal bersama    dijemput kuda berpelana putih   
  lewati jalan setapak menuju langit   
  pengembaraan panjang   
  mesti kita alami   
  maka:   
  jangan paksa aku mendebat lagi   
  sayangku   
  noda apakah dosa   
  dosa apakah noda yang kita tebarkan   
  di atas ranjang   
  di rumah sarat cemooh tetangga   
  mari jadi laki bini   
  lahirkan bayi suci  
 Yogya, 1987  
 |     Isyarat Malam    istriku, malam kita sudah larut   
  kapan pernah kita bersujud   
  dalam kelam jubah malam   
  kita berdiam   
  menengok bintang khusuk sembahyang  
 istriku, malam kita kian larut   
  derit ranjang tak lagi buahkan bayi   
  anak kita lima, cucu enam:   
  mari kita dekap   
  karna milik kita   
  istriku, jangan lagi kita sembunyi   
  malam kita adalah tepi hari   
  istriku, bila kereta datang   
  jemput kita pulang   
  kita sudah sembahyang  
 Yogya, 1987   
  (Dimuat di  Masa Kini, 4 Desember 1987)  
 |  
    MELEPAS KEIKHLASAN    bukanlah matamu, istriku   
  tiga anak kita di kali bening   
  bermain perahu daun bambu   
  coleteh dan tawanya   
  alangkah lepas   
  dari jauh pandang saja mereka   
  kali bening bukan milik kita   
  bukalah telingamu, istriku   
  di tengah masa   
  mereka pamit   
  tinggalkan halaman rumah   
  bukalah hatimu, istriku   
  ucapkan selamat jalan   
  ulurkan tanganmu,   
  mari kita dekap   
  hatinya  
 Yogya, 1987   
  (Pernah dimuat di  Suara Indonesia Februari 1988)  
 |     Sajak Penghambur Dosa    Tuhan   
  mencintai-Mu adalah siksa   
  melihat di telaga-Mu   
  wajahku penuh dosa  
 Tuhan   
  membencimu adalah dosa   
  sebab kasih-Mu tetap kudekap   
  jika Kau tawarkan   
  sorga atau neraka   
  jawabku: atau!  
 Yogya, 1987   
  (Pernah dimuat di  Suara Indonesia Februari 1988)  
 |  
    Pertemuan II    sendiri di malam hari   
  Engkau datang   
  Tersenyum panang wajahku   
  aku tersipu   
  Kau belai rambutku   
  aku menangis   
  Kau tinggalkan   
  aku tertidur.   
  meski aku selalu rindu   
  mengeja nama-Mu.  
 Yogya, 1987  
 (pernah dimuat di  Suara Indonesia Februari 1988)  
 |     Sajak Gelandangan    Andai tak bertemu 
kamu dengan karung usang 
mungkin tak kutemukan 
deritamu di dalamnya 
Kamu dengan karung usang 
serta keping gelas dan kaleng rongsokan 
andai tak melihatmu 
mungkin mataku tak terbuka 
Di naungan jembatan tua kota ini 
aku terlelap bersama mimpimu 
tentang sorga di balik cakrawala 
dan tersentak oleh ngigaumu 
tentang neraka yang membakarmu kini 
Jika tak ada kamu 
tak kutemukan sedihmu 
dalam diriku.  
 Batu, 1987  
 |  
    BULAN BERCUMBU AWAN    Bulan dicumbu awan 
Bumi tak berkawan 
Kita berada di antara keduanya  
 menatap bumi yang sendiri 
mendekap hasrat yang mati 
mengharap bulan mencari diri 
melawan cumbuan awan 
kepada kita dia berkawan.  
 Yogya, Maret 1987  
 |     Permintaan    Bapakku 
ijinkan aku 
mengguruimu 
agar tak tertidur aku di bangku kuliah 
hanya mimpi 
menjadi pegawai negeri  
 Yogya, 1987  
 (Dimuat di  Masa Kini, 4 Desember 1987)  
 |  
      P U S I N G   
  buat "bapakku" tercinta di jakarta 
  bapakku
sudah penat tubuhmu
besarkan aku
sungguh baik hatimu
engkau beri aku rupiah
buat beli selembar ijazah
di warung negeri
atau swasta 
  bapakku
berkat budi baikmu
sekarang aku pandai
tapi, sayang
anak dilarang menggurui bapaknya
bapakku
beri aku waktu
beli tahta dengan kepandaian
hus! :tahta tidak bisa dibeli dengan kepandaian
tahta harus dibeli dengan baju hijau" 
  bapakku marah  
  dilempari kepalaku dengan NKK dan BKK  
  mulutku dicekoki es-ka-es  
  kepalaku pusing  
  aku tertidur di bangku kuliah
dan bermimpi menjadi pegawai negeri. 
  Yogyakarta, 1987 
   B E R P I S A H
   buat Lilis
 
  Duniaku terpaku di jantungku
menentukan aliran darahku: kehidupanku
Duniamu terpaku di jantungmu
menentukan denyut nadimu: kehidupanmu 
  Aku bukanlah aku
Kamu bukanlah kamu
karena kita tak bisa bertemu 
  Aku adalah hamba duniaku
Kamu adalah hamba duniamu 
  Aku menyembah di bawah kubah
Di gereja kamu memuja
Di atas sajadah aku pasrah
Di altar kamu teteskan air mata 
  Yogya, Maret 1987 
 
   HIDUP TANPA JUDUL  
  Langkahku mundur, cela yang mengatur
budi luhur dilulur bapak
luntur: silau emas dan perak
nostalgia kesalehan hanya permainan anak-anak
alif, ba’, tsa, gelap pun terucap
tanpa meresap
ini hari jadi gelap
mentari tak kudapat. Gelap! 
  Langkahku mundur, dosa yang mengatur
gua perak bercampur liur:
tempat menetap yang tak tetap
tersekap
hantu hijau mengincar
jangan berisik jangan diusik
saat kita terlena dalam mimpi
pelor siap bikin bocor kepala
aku tak bisa kabur
sia-sia bangkaiku dikubur. 
  Yogya, ’87 
   Perjalanan I  
  Sesaat aku pergi
langkahku tertinggal di kubangan darah
badanku berlumur lumpur
aku ingin kabur
meski liang kubur siap mengubur
tanpa kembang menabur
tanpa air mata mengucur 
  mengerahkan tobatku; satu yang kutuju  
  merangkak tertatih dalam sepi
memeluk sunyi
berharap tak mati: mencari mentari hati 
  Yogya, '87 
   Perjalanan II  
  kucapai esok hari
lewati kelam jubah malam
sesempurna kelumpuhanku
di atas sajadah
aku menyembah! 
  Yogya,’87 
   MALAM DI RUMAH HITAM  
  Di rumah hitam,
malam jubahnya hitam
desah nafas nafsu di dalam malam. 
  Di rumah hitam,
malam, kuketuk pintumu
tak ada cahaya penerang di rumahmu
lampumu padam enam tahun yang silam 
  Di rumah hitam,
malam, carilah cahaya penerang
bulan dan bintang
jangan cari di langit kelam
ada di atas kubah bulan sabit dan bintang
itulah lampu, ambillah buat rumahmu
wahai malam di rumah hitam. 
  Yogya, ’87 
   P o h o n M u d a  
  Wahai, pohon muda, kering daunmu. Jangan
impikan mentari esok hari. Malam ini
tengoklah punggung silsilah raja
di sana pernah kau ukir jasamu
dengan sejukmu
segar udaramu kau hembuskan di sana
mata air mengalir di kakimu
namun, kau semakin terhimpit. Batu-batu
angkuh menjepit akarmu
tak ada gunakah perjuanganmu?
Esok hari mentari pagi menyambutmu mati! 
  Yogya, ’87 
   PERJALANAN   
  
Bayang-Mu kan kucari
antara tumpukan bayang mereka
Dingin angin di bawah baringin.
Sekejap kupandang punggung-Mu,
tanpa bayangan,
tanpa cahaya,
gulita!
Kemana Engkau pergi?
Ke kuil Kau bersembunyi?
Di bukit sepi Kau semedi?
Hampa tak ada suara
Sepi,
sunyi dalam hati
yang mati. 
  Yogya, Februari 87 
  
  Puisi yang ditulis pada tahun 1985-1986
 
   T O B A T  
  Tangan ini terlalu lapuk
buat mendekap kasih-Mu
Dada ini terlalu sempit
buat merangkum kebesaran-Mu 
  Dengan kaki rapuh menyangga tubuh berlumpur
melangkah tertatih
melintasi rimba perasaan sunyi
meniti jembatan naluri. 
  Di depan pintu-Mu
aku terkapar
Menatap nur-Mu
yang memancar dari ayat-ayat-Mu 
  Berderit hatiku, terkuak perlahan
Sujud dan menangis memohon ampunan-Mu. 
  September 1985 
   Jerit Pohon-pohon Tumbang  
  Engkau pohon-pohon tumbang
Daunmu kering
rontok berguguran
ranting-rantingmu kurus dan kering
Padahal…
kau tumbuh di atas tanah subur
penuh pupuk dan tak kurang air. 
    Engkau pohon-pohon muda
cinta-citamu mulia
mengubah kepengapan zaman
menghalau pencemaran udara
pencemaran karena korupsi
manipulasi
dan kebobrokan mental
Tapi, sungguh malang
akar-akarmu terhimpit batu-batu sombong
batu-batu angkuh yang mengandalkan kekuasaan
Engkau kering
mati
dan tumbang
lalu membusuk
Membusuk pun kau tidak akan jadi pupuk
engkau malah jadi sampah
yang tercampakkan
terbuang
sia-sia. 
  November 1985 
   Makna-Makna yang Retak  
  Kelelahan yang punya makna
Haus dan lapar yang punya jiwa
Kami mengakrabi kebesaran ciptaan-Mu, ya Tuhan
Betapa indah untuk dinikmati 
    Namun ada sesal yang menghimpit jiwa
Rasa kontras akan predikat yang kami sandang
Dengan mereka….
Tangan-tangan kotor perusak alam! 
  Perjalanan kami mengakrabi rimba sunyi
Melewati jalanan nurani
Meniti jembatan perasaan sepi
Menuju puncak gunung yang abadi 
    Tangan-tangan kotor itu racun
Haruskah kami menutup mata
Sekedar memurnikan yang kami lihat
Sekadar menikmati hijaunya dalam pegunungan 
  Tangan-tangan kotor itu
Harus kami lihat dan kami tentang
Meski dengan kebesaran jiwa yang bengkak
Meski dengan kacamata yang tak pernah bertepi. 
  Mei 1985 
   AKU DAN SEBOTOL BIR  
  Kunyalakan sebatang rokok….  
  Aku cinta padamu.
Keteguk sebotol bir,
bir yang menguap dalam maknanya sendiri
yang menyatu dengan deburan darah dan ludah
menembus dinding kesadaran diri
aku terlelap
aku lupa padamu
lupa terhadap pengkhianatanmu. 
    Layang-layang terbang tanpa kendali
tanpa tali
tali yang dulu diyakininya
akan mengendalikan ke batas kewajaran
Kini,
limbung, terhempas badai kemunafikan
terdampar ke pelabuhan nista
yang kontras dengan suara hatinya
seiring dengan nafsu setannya. 
  Berlari-berlari dan berlari
menuju alam pelampiasan diri
membelakangi segala tuntutan hidup.
Aku dan sebotol bir….
Satu rasa,
rasa pahit,
rasa getir. 
  Batu, November 1985